Minggu, 15 Juli 2012

Sejarah dan budaya Desa Balangian

Sejarah dan budaya Desa Balangian

Desa Belangian, desa yang berpenghuni kurang lebih 60 kepala keluarga, dengan jumlah penduduk 319 jiwa ini berada di kawasan Taman Hutan Raya (TAHURA) SULTAN ADAM. Selain itu juga berada pada kawasan buffer zone PLTA Ir. H.P.M Noor. Kenyataan ini cukup menimbulkan persoalan bagi warga desa dan pemerintah untuk melakukan aktivitas pembangunan.
Desa kecil ini kini telah menjadi banyak inspirasi para pecinta alam. Begitu banyak keindahan alam yang ditawarkan di desa ini, mulai dari perjalanan menuju desa ini dengan menggunakan kelotok melewati danau yang begitu memancarkan keindahan naturalnya. Selain itu panorama pegunungan yang membentang sepanjang perjalanan menuju desa ini benar-benar telah menyihir kami para mahasiswa jurusan Sejarah FKIP Unlam Banjarmasin. Kami datang ke desa ini untuk melakukan penelitian guna memenuhi tugas mata kuliah Dasar-dasar Geografi.  Meskipun harus melalui perjalanan panjang hingga berjam-jam, rasa lelah kami sudah terbayar dengan pemandangan di sekitar kami. Saya tak menyangka sebelumnya bahwa tempat yang akan kami kunjungi adalah daerah yang masih perawan dan belum tersentuh tangan-tangan nakal para pengusaha yang tidak bertanggung jawab. Meskipun demikian desa ini tetapa memerlukan perawatan agar tetap terjaga keindahannya.

Untk mencapai desa Belangian kita harus menempuh perjalanan kira-kira 4 jam jika berangkat dari Banjarmasin.
Bila kita berangkat dari Martapura menggunakan mobil akan memerlukan waktu 30 – 45 menit. Jaraknya lebih kurang 25 km untuk sampai ke Pelabuhan Kelotok di Tiwingan Baru Kecamatan Aranio.

Perjalanan dilanjutkan dengan kelotok-perahu kecil bermotor dengan suara yang bising. Perahu bermotor ini merupakan sarana transportasi tradisional. Sebagai model tradisional maka rancangan lebih pada daya angkut barang dan orang sekaligus. Faktor kenyamanan penumpang dan kecepatan bukan menjadi tujuan utama. Maka manakala kedua faktor itu dapat diperbaiki tentunya masalah transportasi dari Pelabuhan Riam Kanan menuju Desa Belangian akan layak.
Untuk kenyamanan ada tiga hal yang dapat diperbaiki.
Pertama suara bising mesin penggerak. Kenyataan ini dapat dikurangi dengan pemasangan saluran buang yang jauh ke atas dan menutup mesin dengan rapi dan rapat serta kedap suara.
Kedua tempat penumpang yang lesehan dapat diberi alternatif dengan kursi baik dibagian dalam maupun bagian atas kelotok. Bagian atas kelotok akan menjadi bagian menarik karena model transportasi ini berada dimuka air, relatif rendah dan menghalangi jarak pandang; maka dengan adanya bagian atas pemandangan ke alam luas lebih leluasa.
Ketiga adalah rambu atau petunjuk jalan sepanjang alur yang dilalui kelotok. Sebab desa Belangian harus dijangkau dengan melalui banyak kelokan yang seperti buntu menipu.


Waktu yang diperlukan dengan menggunakan kelotok lebih kurang 2 jam. Bila mengikuti jam layanan umum hanya ada pagi sampai siang dengan biaya Rp.2.500/penumpang. Kapasitas penumpang mencapai 25 – 40 orang. Kelotok ini secara umum dipergunakan oleh warga digunakan juga untuk angkutan barang hasil pertanian dan peternakan serta perikanan. Bisa juga diborong dengan harga Rp.150.000,- pulang pergi desa Belangian.  Jika ingin menuju ke lembah Kahung maka dari pusat desa ini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki; bagi warga desa yang telah terbiasa memerlukan waktu 3 jam untuk sampai ke Lembah Kahung. Tapi bagi wisatawan sedikitnya diperlukan 2 kali lipat yakni 6 jam. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya dengan dua alasan. Pertama karena wisatawan umumnya belum terbiasa dengan lintasan alam, gunung – lembah dan sungai berjeram. Singkatnya secara harfiah dapat disebut sebagai tantangan fisik. Alasan kedua adalah tantangan psykologis; indahnya pemandangan menuntut perhatian khusus sehingga langkah kaki terhenti untuk mengagumi kebesaran sang khalik.

Ketika sampai di gerbang desa Belangian awalnya saya menyangka bahwa desa ini adalah desa yang sangat tertinggal karena terletak di paling ujung kecamatan Aranio, namun ternyata desa ini adalah desa yang memiliki swadaya masyarakat yang sangat tinggi. Kedatangan rombongan kami disambut sangat antusias oleh para warga desa ini. Dengan keramahan warga setempat kami merasa nyaman untuk bermalam di desa ini. Kami tiba di desa Belangian pada hari Jum’at 18 Mei 2012 sekitar pukul 17.00 WITA. Setelah kami mendapatkan tempat peristirahatan di rumah warga, kami langsung mempersiapkan makan untuk kelompok masing-masing, bahkan sebagian dari kami memasak di belakang rumah warga yang kami tempati.


Sekitar pukul 18.00 WITA, kami terkejut karena tiba-tiba lampu menyala sendiri. “Di sini dasar kyaitu, pemakaian listrik kada kawa sehari semalam, soalnya di sini kadada aliran listriknya”, kata ibu Rusma pemilik rumah yang kami tempati, sidin juga mengungkapkan bahwa desa Belangian dapat merasakan aliran listrik baru beberapa tahun terakhir,itupun hasil swadaya masyarakat setempat. Beberapa warga juga mengatakan hal yang sama bahwa di desa ini tak tersentuh oleh aliran istrik dari luar. Betapa mirisnya cerita ini, padahal desa ini dekat sekali dengan PLTA Riam Kanan yang menjadi tombak sumber listrik PLN.

Pada malam harinya kami melakukan tugas wajib kami,yaitu wawancara terhadap warga setempat mengenai kehidupan mereka, namun ketika sedang melakukan wawncara tiba-tiba listrik padam, para warga menjelaskan bahwa memang hanya beberapa rumah saja yang mendapat aliran listrik, itupun hanya sampai sekitar pukul 22.00 WITA. Setelah melakukan wawancara selama berada di desa Belangian, kami mendapatkan beberapa kesimpulan mengenai desa Belangian dari beberapa bidang secara singkat.

Dalam makalah sini saya akan lebih banyak menjelaskan mengenai sistem kekerabatan desa Belangian. Namun sebelumnya kit harus tau lebih dulu apa yang dimaksud sistem kekerabatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar