Sabtu, 19 Januari 2013

Perkebunan Swasta Masa Kolonial


1
.       Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun pada Masa Tradisional
1.1. Dari ladang ke kebun
Selama kurang lebih dua ribu tahun terakhir masyarakat di kepulauan nusantara secara bertahap telah mengembangkan dua tipe kegiatan pertanian yaitu:
a)      kegiatan pertanian yang menggarap tanaman subsisten
b)      menggarap tanaman perdagangan
Kegiatan ini menunjukkan keanekaragaman, baik dari segi tanaman, pemilikan tanah, motif ekonomi kebudayaan, teknologi dan lingkungan yang mempengaruhi pertanian. Dari berbagai keanekaragaman tersebut terdapat empat system pertanian ialah:
a)      sistem perladangan yaitu jenis kegiatan pertanian yang dilakukan secara berpindah-pindah, dengan penanaman berbagai tanaman berumur pendek, terutama tanaman pangan.
b)      Sistem persawahan
c)       Sistem kebun yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman berusia panjang atau tanaman penghasil panenan
d)      Sistem tegalan yaitu tipe kegiatan penanaman tanaman pangan secara tetap pada daerah lahan kering.
Masing-masing sistem telah berlaku di daerah Indonesia sebelum bangsa eropa, dan masing-masing hingga masa kini juga masih berlaku. Patut dicatat bahwa selama ribuan tahun telah terjadi perkembangan variasi regional, melalui proses akulturasi dan perdagangan antar pulau.
1.2. Kebun Komoditi Perdagangan
Salah satu perubahan yang lebih penting dari pada variasi daerah ladang ialah perubahan dari system ladang ke system kebun permanen, yang menanam tanaman perdagangan. Kebun tanaman campuran merupakan salah satu tipenya. Kebun bertanam campuran di Jawa diduga telah berkembang di Jawa Tengah sebelum abad ke-10. Kebun semacam juga berkembang di Sumatera dan Sulawesi Selatan pada masa yang tua pula, disamping di daerah Nusa Tenggara. Sebaliknya, berbeda dengan kebun campuran yang lebih di tunjukkan untuk tujuan subsistan, sejumblah daerah di luar Jawa sebelum masa abad ke -19, telah mengembangkan kebun tanaman perdagangan misalnya: kopi, lada, kapur barus, dan rempah-rempah. Kopi diperkenalkan di Jawa oleh Belanda pada 1699 yang kemudian dikembangkan dengan system paksa, yaitu system priyangan di Jawa Barat pada masa VOC. Pada waktu itu kopi belum di tanam di luar Jawa, walaupun pada awal abad ke-19 menjadi tanaman komoditi penting di daerah Sumatera dan daerah lainnya.
2.       Perkebunan Swasta
2.1. Perkebunan Swasta di Jawa
Prinsip ekonomi liberal secara formal meberikan kebebasan kepada petani untuk menyewakan tanahnya dan dilain pihak menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan perusahaan perkebunan. Pada masa ini, insentif yang diterima oleh petani jauh lebih besar ketimbang pada saat tanam paksa.
Pada masa transisi terlihat jelas proses pergeseran dari usaha pemerintah ke swasta dengan penyusutan perkebunan milik pemerintah dan meluasnya perkebunan swasta. Komoditi yang memegang peranan penting adalah kopi, gula, teh, tembakau, teh, dan indigo. Hal ini dikarenakan banyaknya investor yang menanamkan modalnya di Hindia Belanda.
Politik etis yang terkenal dengan triadenya, emigrasi, edukasi, dan irigasi, mulai dijalankan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1901 sebagai politik kehormatan yang ditujukan untuk meningkatakan kesejahteraan rakyat dengan peningkatan pembangunan infrastruktur.
Perkembangan perkebunan pada masa ini memperlihatkan peningkatan terus, yang paling menonjol adalah peningkatan dari tahun 1905 hingga 1909.
Sesungguhnya perkebunan swasta telah dimulai sejak tahun 1816 di daerah kesultanan (vorstenlanden) yang kemudian tidak dikenalkan cultuurstelsel itu. Para entrepreneur Barat maupun Cina menyewa tanah-tanah dari kaum bangsawan dan mengusahakan perkebunan kopi, gula, tembakau, indigo dan lain-lain. Selain itu juga ditanah-tanah partikelir di sepanjang pantai utara Jawa (dibeli oleh orang Cina sejak masa VOC).
Dr. H.V.J. Houben menunjukan betapa pentingnya perkebunan swasta ini dibandingkan dengan cultuurstelsel. Namun demikian perkebunan swasta berkembang dengan pesat setelah kabinet liberal mengambil alih pemerintahan di Negeri Belanda dan menyiapkan prasarana hukum unttk memberi jaminan bagi penanaman modal swasta di Indonesia. Perkembangan di pulau Jawa yang sudah mengalami proses komersialisasi jauh terlebih dahulu dari luar Jawa itu menunjukkan perbedaan-perbedaan yang cukup mencolok.
Selama periode antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan mendominasi perekonomian Indonesia. Beberapa komoditi yang penting di Jawa adalah gula, kopi, tembakau, teh, karet, kina dan kelapa. Di luar Jawa karet, kelapa sawit dan tembakau merupakan produk utama.
Perkebunan tebu merupakan tahapan pertama dari industri gula. Untuk menjadikannya gula yang dapat diperjual-belikan dan digunakan oleh konsumen diperlukan penggilan tebu (pabrik tebu). Seperti dikemukakan di atas, pabrik-pabrik tebu di Jawa diusahakan oleh pihak swasta. Pada masa cultuurstelsel pihak swasta dapat mengajukan permintaan izin pada pemerintah (zuikercontracten). Tetapi setelah itu pabrik gula dapat diusahakan oleh swasta tanpa mengajukan izin. Seperti dikemukakan oleh Prof. Van Niel atas pemodal utama pada masa cultuurstelsel berasal dari dalam negeri yaitu para pensiunan pegawai, dari perusahaan-perusahaan impor-ekspor ataupun dalam penggilingannya.
2.2. Perkebunan Swasta di Luar Jawa
Perkembangan modal swasta di luar Jawa baru muncul secara kontinu sejak awal abad ke-20, kecuali di Sumatera Timur (sudah sejak 1860-an). Selain itu tidak seluruh wilayah Luar Jawa mengalami pertumbuhan. Ada wilayah-wilayah yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi, tetapi ada pula yang tertinggal sama sekali. Daerah-daerah yang mengalami pertumbuhan adalah Sumatera Timur (tembakau, karet, kelapa sawit, minyak, dan lain-lain). Palembang (karet), Riau (timah, minyak), Kalimantan Tenggara (karet), Sulawesi Utara (kelapa) dan Sulawesi Selatan (kelapa). Wilayah-wilayah yang tertinggal adalah Maluku, Lampung, Bnegkulu, sebagian dari Sumatra sebagian dari Sulawesi, Nusa Tenggara dan Irian. Di antara wilayah-wilayah itu Pulau Sumatera menunjukkan tingginya variasi komoditi ekspor.
Sumatra Timur merupakan wilayah pertama yang mengalami pertumbuhan sejak Nienhuis membuka perkebunan tembakau di sana pada tahun 1864. Tembakau Deli menjadi terkenal di pasaran Eropa sehingga berbagai pengusaha lainnya menyusul. Karena penduduk lokal tidak bersedia bekerja di perkebunan maka pada mulanya diusahakan tenaga kerja dari Cina. Tetapi kemudian tenaga kerja diperoleh dari Jawa. Sistem tenaga kerja paksaan ini memang sangat menguntungkan sebab pemilik perkebunan diberi hak untuk menghukum para pekerja yang lalai melakukan pekerjaannya (poenale sactie). Baru pada tahun 1932 poenale sactie terpaksa di hapus karena Amerika Serikat melarang impor barang-barang yang dihasilkan melalui tenaga kerja paksaan.
3.       Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan
3.1. Lokasi
Terkecuali perkebunan teh dan tembakau, kebanyakan perkebunan terletak di daerah-daerah pegunungan dan terpencil, suatu hal yang wajar apabila diingat bahwa berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870 memang yang tersedia untuk disewa perusahaan perkebunan adalah woeste gronden, tanah “liar”, artinya tidak digarap oleh penduduk bagi usaha taninya. Jadi letak perkebuunan pada umumnya jauh dari pedesaan, namun masih dapat dijangkau oleh tenaga kerja yang berasal dari pedesaan.
Pada hakekatnya masyarakatnya adalah multirasia, terdiri atas bangda Eropa, Cina dan Jawa atau pribumi lainnya. Tercabut dari akar kebudayaan masing-masing, golongan-golongan dalam komunitas baru belum terikat oleh ikatan solidaritas baru sehingga benar-benar merupakan daerah frontier dimana isolasi dan alienasi menimbulkan krisis baik pada tingkat pribadi maupun kolektif. Krisis itu disertai konflik dan kekerasan, maka kolektivitas hanya dapat berfungsi apabila kekuasaan dan kekerasan kuat agar disiplin kerja dapat dilembagakan sebagai prasarana sistem produksi yang mutlak.
Pemukiman perkebunan merupakan suatu kompleks yang terdiri atas unsur-unsur sosial-ekonomis yang berbeda-beda akan tetapi tidak terpisahkan dalam kaitan kerja atau hubungan sistem produksi. Inheren dalam situasi itu ialah adanya kontradiksi, konflik serta ketegangan terus menerus serta acapkali dengan intensitas tinggi terutama karena perbedaan dan pertentangan kepentingan. Di samping itu tidak ada ikatan solidaritas antara unsur-unsur tersebut yang mampu melerai ketegangan itu.
Perlu ditambahkan disini bahwa masyarakat itu berada dalam konteks kolonial dimana berlaku prinsip-prinsip hubungan kolonial, bahkan dalam bentuk-bentuk lebih murni dan tajam.
3.2. Struktur Sosial dan Struktur Kekuasaan
Perkembangan wajar yang terjadi ialah bahwa kelompok-kelompok pemukim sebagai agregat lambat laun berubah menjadi integrat. Sejak masa perintisan unsur Eropa berkedudukan di lapisan atas berdasarkan peranannya sebagai pengambil prakarsa, penanam modal, pengelola, pendeknya selaku wiraswastawan utamanya. Tenaga buruh yang didatangkan dari luar daerah diperlakukan sebagai aktor dalam sistem produksi terutama untuk dieksploitasi tenaga kasarnya di lapangan dalam proses penanaman, pemeliharaan dan penuaian. Kemudian dalam proses pengolahan bahan mentah di pabrik atau los-los masih banyak diperlukan tenaga manusia juga. Dengan demikian peran tenaga pribumi dan Cina, Keling dan lain, ditempatkan pada lapisa bawah.
Dalam menjalin hubungan industr ial antar kedua lapisan diperlukan perantara. Dari pihak Eropa hal itu dilakukan oleh tenaga pembantu (asisten) dan pengawas (opzichter).
Para tenaga buruh, yang pada jamannya juga diseut kuli, dikelompokkan dalam regu-regu (ploeg) yang masing-masing diawasi oleh seorang mandor.
Dari uraian di atas tampaklah tidak hanya struktur sosial masyarakat perkebunan tetapi juga struktur kekuasaan beserta hirarkinya. Mengingat bahwa lingkungan serta suasana pekerjaan bercirikan daerah frontier, maka tuntutan produktivitas perusahaan hanya dpat dipenuhi apabila ada kekuasaan yang dapat menanam disiplin kerja yang ketat untuk menjamin eksploitasi yang kontinu serta intensif. Jelaslah bahwa bahwa dalam kondisi itu kekuasaan otokratis atau otoritarianismelah yang mampu mendisiplinkan tenaga kerjanya. Baik sejarah perkembangan perkebunan, maupun kontsk kolonialnya mendorong tumbuhnya kekuasaan jenis itu.
Plantokrasi atau sistem kekuasaan pengusaha perkebunan ternyata dilaksanakan dengan banyak memakai kekerasan serta jauh menyimpang dari pola hubungan industrial modern. Golongan buruh tidak berdaya apa-apa, meskipun telah adakoeli-ordonantie. Peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh. Di satu pihak tidak ada hak berasosiasi pada mereka, sedang di pihak lain tidak terdapat sistem kontrol lain yang melindungi kaum buruh. Dalam pada itu pihak pemerintah bersikap lunak atau acuh-tidak-acuh terjadi di perkebunan. Dengan demikian mudah timbuk kecenderungan ke arah otokrasi. Tidak mengherankan apabila kekuatan sanksi-sanksi akan pelanggaran kontrak dan disiplin kerja didukung oleh “terorisme” dalam pelbagai bentuknya.
3.3.  Organisasi Kerja dan Hubungan Industrial
Dalam mengoperasionalisasikan organisasi kerja di perkebunan yang amat pokok ialah peranan inti organisasi yang di atas disebut sebagai regu (ploeg) di bawah pimpinan kepala regu (ploeg baas). Dia berperan tidak hanya sebagai pemimpin unit tetapi juga sekaligus sebagai “bapanya” dan “perantara” ke pihak tas. Kedudukan mandor ini merupakan kunci dan amat strategis. Ada kalanya mereka mempergunakannya untuk melakukan perdagangan di kalangan kuli-kuli.
Untuk menyebut beberapa jenis hukuman, antara lain siksaan fisik, kurungan, diikat di pohon, dicampak dengan rotan, dan lain sebagainya. Kesemuanya terjadi tanpa mengindahkan hukum serta prosedur pengadila. Tidak dipersoalkan apakah ada hak melakukan hukuman pada para pelaku menjalankan sanksi tersebut. Para tandil ditugaskan  untuk melaporkan segala sesuatu yang terjadi di kalangan kuli, semangatnya, suasananya serta keresahannya. Dengan demikian dapat diketahui adanya persengkokolan, gerakan rahasia melawan, sehingga konfrontasi antara para opzichter dan asisten di satu pihak dengan kuli-kuli di pihak lain.
Jam kerja setiap hari ada 10-12 jam, mulai dinihari sampai petang hari, disela oleh waktu istirahat selama 1-2 jam, antara jam 11-13.00. Setiap regu dipimpin oleh seorang mandor atau kepala regu (ploegbaas) yang bertanggung jawab atas prestasi kuli-kuli. Lazimnya regu wanita lebih banyak dipekerjakan di pabrik, gudang atau los.
Adapun upah dibayarkan belakangan, pada akhir pekan. Jumlahnya dihitung berdasarkan hasil kerja, umpamanya untuk tembakau, jumlah helai daun yang dipetik atau diikat.
Ada kelompok-kelompok etnik tertentu yang lebih sesuai untuk mengerjakan jenis pekerjaan tertentu, seperti golongan Keling untuk melakukan penggalian bangunan, golongan Melayu untuk transpor, Cina untuk kerja kebun seperti juga unsur Jawa. Cina dikenal mempunyai ketahanan untuk kerja keras.
3.4. Gaya Hidup Masyarakat Perkebunan
Telah diutarakan di atas bahwa masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya, serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain (1) pluralistik, (2) tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik berdasarkan sektor ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi dan politik kaum kolonial; berdasarkan itu kesemuanya juga perbedaan gaya hidup. Apabila pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan dalam masyarakat, maka gaya hidup sendiri menjadi simbol posisi sosial golongan tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan serta kewibawaan.
Dalam mengamati lay-out daerah permukiman perkebunan segeralah menonjol kontras
antara daerah kediaman bangsa Eropa dengan perkampungan kaum pribumi serta golongan non-eropa lainnya, jenis bangunan, arsitekturnya, formatnya, kemudahannya, dan lain sebagainya, kesemuanya menampilkan bahwa penghuni berstatus tinggi disitu. Tuan besar (administrateur) dan tuan-tuan kecil (opzichter dan asisten “bersemayam” di rumah-rumah gedung yang memenuhi persyaratan kesehatan dilengkapi segala macam kemudahan. Komunitas Eropa merupakan “enclave” di lingkungan pemukiman perkebunan. Dijagalah ketat homogenitas penduduknya, lagi pula demarkasi dengan golongan non-Eropa dalam komunikasi sosialnya. Pergaulannya terjadi intra-komunitas dan intra-golongan Eropa di kota.
Baik dalam mencari hiburan dan bentuk-bentuk rekreasi lainnya, kaum Eropa berkumpul di societeit atau disingkatsoos, antara lain untuk minum-minum, dansa-dansi, main kartu, bilyar, dan lain sebagainya. Sebagai lapisan atas mereka memandang rendah golongan pribumi dan kontak terbatas pada hubungan kerja. Dalam hal ini ada tambahan catatan, ialah bahwa karena kekurangan wanita Eropa di lingkungannya, maka golongan Eropa yang masih rendah kedudukannya (opzichter dan asisten) tidak jarang mengambil seorang wanita pribumi sebagai nyai atau gundik (concubine). Mereka memakai hak istimewa yaitu hak untuk memilih wanita yang baru didatangkan dari Jawa atau tempat lain. Kebanyakan hubungan itu tidak dikukuhkan sebagai hubungan perkawinan. Dapatlah hubungan diputuskan menurut kemauan si tuan kecil. Perlu diingat bahwa cukup banyak diantara golongan ini yang datang sebagai fortuin zoekers, pencari harta, maka sebagian besar dari mereka termasuk trekkers (pengembara) dan tidak menjadi blijvers (penetap).
Sifat sementara amat mempengaruhi gaya hidupnya, lebih-lebioh dalam soal etika dan moral. Timbullah suatu subkultur yang tidak berkecenderungan memantapkan pola hidup dengan nilai-nilai tertentu. Tambahan pula, dalam masyarakatfrontier individualisme tidak terkendalikan dan mudah menjurus ke libertanisme, khususnya dalam hubungan seks menimbulkan promiskuitas.
Ada pula kecenderungan kuat untuk hidup secara berlebih-lebihan dalam pelbagai seginya. Mereka dihinggapi oleh ego-sentrisme yang menutup mata mereka terhadap lingkungan masyarakat non-Eropa yang memeras keringat untuk mencari nafkah, penderitaan para pekerja yang turut membuahkan penghasilan para tuan. Di sini kita juga menjumpai contoh dualisme dibidang ekonomi. Di banding dengan gajih golongan Eropa, upah para kuli adalah upah kelaparan, padahal pekerjaan yang dilakukan amat berat, acapkali diharuskan melembur pada malam hari dengan memakai lampu. Memang salah satu sendi keuntungan besar perusahaan perkebunan ialah tenaga kerja yang banyak dan murah. Faktor ini merupakan faktor penting dalam ongkos eksploitasi yang plus, maka sewaktu menghadapi krisis dalam tahun 1930-an, merosotnya harga komoditi di pasar dunia, cara mempertahankan produksi dan menekan ongkosnya, tidak lain ialah mengurangi upah kuli dan di mana mungkin memecat mereka.
Dalam kondisi hidup yang serba berat, secara fisik para pekerja dieksploitasi secara maksimal, tingkat upah minimal, maka taraf hidup amat rendah. Dalam keadaan itu orang hendak menghibur diri dengan berjudi, menghisap madu, melacur, kesemuanya menjerumuskannya ke dalam ikatan-pinjaman, kemerosotan kesehatan dan kesejahteraan. Banyak mandor dan tandil yang memanfaatkan keadaan kuli itu dengan memberi pinjaman yang “mencekik”, menjual barang dengan harga lebih tinggi, atau dengan membayar secara angsuran. Banyak kuli yang terjebak ke dalam jerat pinjaman, hal mana dipandang menguntungkan perusahaan perkebunan, karena kuli-kuli itu akan lebih terikat pada pekerjaan di perkebunan.
Adapun masalah pelacuran dapatlah dianggap sebagai konsekuensi dari situasi masyarakat perkebunan di mana perbandingan anatara pria dan wanita tidak seimbang. Pada suatu waktu hanya berbanding 4 : 1.
Dampak lain ialah bahwa ikatan perkawinan tidak terlalu ketat, pada wanita ada lebih banyak kebebasan dalam pergaulan dengan pria, meskipun sudah kawin. Dalam jenis “perdagangan” semacam ini wajar pula bahwa pelayanan mendahulukan pembayaran yang tinggi, apakah itu orang Eropa ataukah golongan Cina. Tidak mengherankan apabila penyakit kelamin mulai tersebar luas dalam masyarakat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar