SISTEM TANAM
PAKSA (CULTURE STELSEL) 1830–1870
A. Pengertian Tanam Paksa
Culture stelsel yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam
Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal
Johannes van den
Bosch pada tahun 1830
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan
kepada pemerintahan Belanda.
Wilayah yang digunakan untuk praktik culture stelsel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak
memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal
pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa :
1. Tuntutan
kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk culture stelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2. Pembebasan tanah yang disediakan
untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai
pembayaran pajak.
3. Rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah
Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima
tahun.
4. Waktu untuk mengerjakan tanaman
pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi
atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
5. Kelebihan hasil produksi pertanian
dari ketentuan akan dikembalikan
kepada
rakyat
6. Kerusakan atau kerugian sebagai
akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan
terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
7. Penyerahan teknik pelaksanaan
aturan tanam paksa kepada kepala desa
8. Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh
kepalakepala
pribumi, sedangkan pihak
Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
B.
Latar Belakang Timbulnya
Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri
(pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro)
sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka
Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan
tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas
negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang
sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan
produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah
mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang
hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di
Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak
banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis
tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil
tanamannya kepada pemerintah Belanda.
C. Pelaksanaan Tanam Paksa Di Indonesia
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan
di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa.
Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun
sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal
kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische
atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber
modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas
kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan,
namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur
procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan
besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat.
Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha
memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara
lain sebagai berikut :
1.
Tanah yang disediakan melebihi 1/5,
yakni 1/3 bahkan ½, malah ada seluruhnya karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib
2. Kegagalan panen menjadi tanggung
jawab petani
3.
Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerintah tidak dibayar
4.
Waktu yang dibutuhkan ternyata melebihi waktu penanaman padi
5. Pekerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih
berat daripada di sawah
6. Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada
petani, ternyata tidak dikembalikan
D.
Dampak
Terjadinya Tanam Paksa Di Indonesia
Dampak dari terjadinya tanam paksa di Indonesia dapat dikelompokkan dalam
beberapa bidang yaitu :
1. Dalam bidang pertanian
Culture stelsel
menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara
luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman
mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi
populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada
tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan
kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan
kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil
komoditi pertanian, dan
secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun
demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian
pertanian dilakukan secara serius.
2. Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak
mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap
sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang
berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan
desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.
Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan
terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan
penduduknya.
3. Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah
yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah, mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu
suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya
kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara
dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang
dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam
pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala
desa itu sendiri.
Pelaksanaan sistem tanam paksa
banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan
eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena ittu, sistem tanam paksa
menimbulkan akibat secara umum yaitu :
1. Bagi
Indonesia
· Sawah ladang
menjadi terbengkalai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga
penghasilan menurun drastis
· Beban rakyat semakin
berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar
pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila panen gagal
· Akibat bermacam-macam
beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan
· Timbulnya bahaya
kemiskinan yang makin berat
· Timbulnya bahaya
kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat
drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di
daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini
mengakibatkan jumlah penduduk menurun darstis. Disamping itu, juga terjadi
penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana.
2. Bagi
Belanda
· Keuntungan dan
kemakmuran rakyat Belanda
· Hutang-hutang Belanda
terlunasi
· Penerimaan pendapatan
melebihi anggaran belanja
· Kas Negeri Belanda yang
semula kosong dapat terpenuhi
· Amsterdam berhasil
dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia
dan
perdagangan berkembang pesat
E.
Akhir Dari Tanam Paksa Di Indonesia
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia,
khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti
berikut ini :
1. Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam
paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2. Baron van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847).
Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat
Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap
pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai
anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa
dihapuskan.
3. Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen
(Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat
tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak
menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang
Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam
kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut,
pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa.
Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian
menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun
1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
BAB II
SISTEM TANAM
PAKSA (CULTURE STELSEL) 1830–1870
A. Pengertian Tanam Paksa
Culture stelsel yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam
Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal
Johannes van den
Bosch pada tahun 1830
yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki
tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada praktiknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh
wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan
kepada pemerintahan Belanda.
Wilayah yang digunakan untuk praktik culture stelsel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak
memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal
pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa :
1. Tuntutan
kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk culture stelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2. Pembebasan tanah yang disediakan
untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai
pembayaran pajak.
3. Rakyat yang tidak memiliki tanah
pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah
Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima
tahun.
4. Waktu untuk mengerjakan tanaman
pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi
atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
5. Kelebihan hasil produksi pertanian
dari ketentuan akan dikembalikan
kepada
rakyat
6. Kerusakan atau kerugian sebagai
akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan
terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
7. Penyerahan teknik pelaksanaan
aturan tanam paksa kepada kepala desa
8. Penggarapan tanaman di bawah pengawasan langsung oleh
kepalakepala
pribumi, sedangkan pihak
Belanda bertindak sebagai pengawas secara umum.
B.
Latar Belakang Timbulnya
Sistem Tanam Paksa
Sejak awal abad ke-19, pemerintah Belanda mengeluarkan biaya yang
sangat besar untuk membiayai peperangan, baik di Negeri Belanda sendiri
(pemberontakan Belgia) maupun di Indonesia (terutama perlawanan Diponegoro)
sehingga Negeri Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar.
Untuk menyelamatkan Negeri Belanda dari bahaya kebrangkrutan maka
Johanes van den Bosch diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia dengan
tugas pokok menggali dana semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas
negara, membayar hutang, dan membiayai perang. Untuk melaksanakan tugas yang
sangat berat itu, Van den Bosch memusatkan kebijaksanaannya pada peningkatan
produksi tanaman ekspor. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan ialah
mengerahkan tenaga rakyat jajahan untuk melakukan penanaman tanaman yang
hasil-hasilnya dapat laku di pasaran dunia secara paksa. Setelah tiba di
Indonesia (1830) Van den Bosch menyusun program sebagai berikut :
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak
1) Sistem sewa tanah dengan uang harus dihapus karena pemasukannya tidak
banyak dan pelaksanaannya sulit.
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis
2) Sistem tanam bebas harus diganti dengan tanam wajib dengan jenis-jenis
tanaman yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil
3) Pajak atas tanah harus dibayar dengan penyerahan sebagian dari hasil
tanamannya kepada pemerintah Belanda.
C. Pelaksanaan Tanam Paksa Di Indonesia
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan
di Jawa. Pemerintah kolonial
memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis.
Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang
membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa.
Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun
sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal
kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische
atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber
modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas
kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Melihat aturan-aturannya, sistem tanam paksa tidak terlalu memberatkan,
namun pelaksanaannya sangat menekan dan memberatkan rakyat. Adanya cultuur
procent menyangkut upah yang diberikan kepada penguasa pribumi berdasarkan
besar kecilnya setoran, ternyata cukup memberatkan beban rakyat.
Untuk mempertinggi upah yang diterima, para penguasa pribumi berusaha
memperbesar setoran, akibatnya timbulah penyelewengan-penyelewengan, antara
lain sebagai berikut :
1.
Tanah yang disediakan melebihi 1/5,
yakni 1/3 bahkan ½, malah ada seluruhnya karena seluruh desa dianggap subur untuk tanaman wajib
2. Kegagalan panen menjadi tanggung
jawab petani
3.
Tenaga kerja yang semestinya dibayar oleh pemerintah tidak dibayar
4.
Waktu yang dibutuhkan ternyata melebihi waktu penanaman padi
5. Pekerjaan di perkebunan atau di pabrik, ternyata lebih
berat daripada di sawah
6. Kelebihan hasil yang seharusnya dikembalikan kepada
petani, ternyata tidak dikembalikan
D.
Dampak
Terjadinya Tanam Paksa Di Indonesia
Dampak dari terjadinya tanam paksa di Indonesia dapat dikelompokkan dalam
beberapa bidang yaitu :
1. Dalam bidang pertanian
Culture stelsel
menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara
luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman
mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi
populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada
tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan
kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan
kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil
komoditi pertanian, dan
secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun
demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian
pertanian dilakukan secara serius.
2. Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak
mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap
sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang
berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan
desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.
Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan
terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan
penduduknya.
3. Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah
yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan
menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport,
sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah
kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah, mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu
suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya
kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial. Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan memelihara
dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat, barang-barang
dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan berbagai macam
pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan kepala-kepala
desa itu sendiri.
Pelaksanaan sistem tanam paksa
banyak menyimpang dari aturan pokoknya dan cenderung untuk mengadakan
eskploitasi agraris semaksimal mungkin. Oleh karena ittu, sistem tanam paksa
menimbulkan akibat secara umum yaitu :
1. Bagi
Indonesia
· Sawah ladang
menjadi terbengkalai karena diwajibkan kerja rodi yang berkepanjangan sehingga
penghasilan menurun drastis
· Beban rakyat semakin
berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panennya, membayar
pajak, mengikuti kerja rodi, dan menanggung risiko apabila panen gagal
· Akibat bermacam-macam
beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan
· Timbulnya bahaya
kemiskinan yang makin berat
· Timbulnya bahaya
kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat
drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di
daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian ini
mengakibatkan jumlah penduduk menurun darstis. Disamping itu, juga terjadi
penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana.
2. Bagi
Belanda
· Keuntungan dan
kemakmuran rakyat Belanda
· Hutang-hutang Belanda
terlunasi
· Penerimaan pendapatan
melebihi anggaran belanja
· Kas Negeri Belanda yang
semula kosong dapat terpenuhi
· Amsterdam berhasil
dibangun menjadi kota pusat perdagangan dunia
dan
perdagangan berkembang pesat
E.
Akhir Dari Tanam Paksa Di Indonesia
Sistem tanam paksa yang mengakibatkan kemelaratan bagi bangsa Indonesia,
khususnya Jawa, akhirnya menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, seperti
berikut ini :
1. Golongan Pengusaha
Golongan ini menghendaki kebebasan berusaha. Mereka menganggap bahwa tanam
paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal.
2. Baron van Hoevel
Ia adalah seorang missionaris yang pernah tinggal di Indonesia (1847).
Dalam perjalanannya di Jawa, Madura dan Bali, ia melihat penderitaan rakyat
Indonesia akibat tanam paksa. Ia sering melancarkan kecaman terhadap
pelaksanaan tanam paksa. Setelah pulang ke Negeri Belanda dan terpilih sebagai
anggota parlemen, ia semakin gigih berjuang dan menuntut agar tanam paksa
dihapuskan.
3. Eduard Douwes Dekker
Ia adalah seorang pejabat Belanda yang pernah menjadi Asisten Residen
(Banten). Ia cinta kepada penduduk pribumi, khususnya yang menderita akibat
tanam paksa. Dengan nama samaran Multatuli yang berarti “aku telah banyak
menderita”, ditulisnya buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang
Belanda (1859) yang menggambarkan penderitaan rakyat akibat tanam paksa dalam
kisah Saijah dan Adinda.
Akibat adanya reaksi tersebut,
pemerintah Belanda secara berangsurangsur menghapuskan sistem tanam paksa.
Nila, teh, kayu manis dihapuskan pada tahun 1865, tembakau tahun 1866, kemudian
menyusul tebu tahun 1884. Tanaman terakhir yang dihapus adalah kopi pada tahun
1917 karena paling banyak memberikan keuntungan.
trimakasih bos infonya membantu buat tugas ne hehehe
BalasHapusTerima kasih atas informasinya
BalasHapusmau turuni berat badan 2-4kg/mggu
tanpa diet ketat & olahraga ? Yuk minum jus wmp rasa blackcurant saja
info yuk kunjungi www.dietwmphwi.com
Untuk yg mempunyai masalah kulit jerawat/flek itam/kulit kusam dll yuk kunjungi www.tokohwi.com/Marianipishwi
izin save fotonya
BalasHapusLangsung disimpan. Sayangnya tulisan dan warna latar belakang kurang pas, jadi susah dalam membaca. Makasih ya...
BalasHapusdetox honey
BalasHapusorganibee detox honey
organibe detox honey asli
organibe detox honey di jakarta
detox honey jakarta
organibee detox honey di bandung
detox honey bandung
organibee detox honey di surabaya
detox honey surabaya
organibee detox honey di medan
detox honey medan
organibee detox honey di tangerang
detox honey tangerang