Sabtu, 19 Januari 2013

Konflik Etnis dan Agama



Sejak 1998, yang menandai akhir dari tigapuluh tiga tahun rezim Orde Baru di bawah Presiden Suharto, kekerasan dan konflik etnis di Indonesia meningkat secara dramatis. Dalam uraiannya yang detil, Jacques Bertrand berpendapat bahwa konflik-konflik di Maluku, Kalimantan, Aceh, Papua, dan Timor Timur adalah akibat dari tafsir-ulang Orde Baru yang sempit dan mengekang atas “model kebangsaan” Indonesia. 
Pada masa Orde Baru, konsep nasionalisme mengalami penyempitan maka ada beberapa etnis yang merasa tidak terlingkupi dalam konsep tersebut. Pada saat terjadinya transisi ada ruang untuk menegosiasikan diri antar kelompok etnis dan negara dalam konsep nasionalisme itu sendiri. Seperti pada saat pemilukada ada semacam ruang untuk menekan atau menjadi pembenar bahwa bagi kelompok mayoritas agama yang menempati wilayah itu harus ada keadilan dalam beragama. 
I.                   PENINGKATAN KONFLIK AGAMA
Islamisasi di masa Orde Baru telah meningkatkan ketegangan diantara orang-orang Kristen dan Muslim. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
·         Kecenderungan yang mengarah kepada peran Muslim lebih besar dalam pemerintahan,
·         Pembentukan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia),
·         Peminggiran serentak terhadap orang-orang Kristen dari lembaga-lembaga inti yang berarti
·         Meningkatnya ketidakpastian mengenai masa depan rezim Orde Baru, orang-orang Kristen kawatir bahwa era pasca Soeharto akan bisa mengarah kepada timbulnya negara Islam atau kekuasaan mayoritas yang akan menyingkirkan mereka.
·         Transmigrasi yang disponsori pemerintah dari daerah-daerah berpenduduk padat ke tempat-tempat yang jarang penduduknya merupakan sumber kesenjangan
·         Perbedaan kepentingan ekonomi dan politik, konflik diantara kaum pendatang dan penduduk setempat di provinsi-provinsi Indonesia timur baru-baru ini dengan kuat menunjukkan bahwa etnisitas dan agam telah bercampur-baur dengan faktor-faktor Ekonomi dan Politik. Penduduk pribumi di Indonesia timur yang bisa diklasifikasikan sebagai “Kristen-Melanesia” pada umumnya memiliki sumber daya manusia yang lebih rendah dan telah “berbenturan” dengan pendatang “Muslim-Melayu” yang memiliki kapasitas sumber daya manusia relatif lebih tinggi.
Kerusuhan-kerusuhan
Dalam semua kasus kekerasan dan kerusuhan antara orang-orang Muslim dan Kristenberikut ini, ada bukti jelas bahwa memuncaknya ketegangan sebelumnya adalah akibat dari Islamisasi lembaga-lembaga Orde Baru dan efeknya pada hubungan-hubungan agama.
Rangkaian kekerasan besar pertama terjadi di Timor-Timur, yang menhadapkan orang-orang Timor-Timur Katolik melawan para pedagang Muslim dari Sulawesi Selatan (Bugis) pada November 1994. Kekerasan ini dipicu setelah adanya penusukan seorang lelaki Timor oleh seorang pedagang Bugis.
Insiden paling dramatis terjadi antara 7 dan 12 September 1995. Kerusuhan meledak di Dili dan beberapa kota lain setelah adanya laporan bahwa seorang lelaki di penjara Maliana telah membuat pernyataan yang menyinggung umat Katolik.
Waktu dan watak kerusuhan menunjukkan bahwa ia mencerminkan naiknya ketegangan antara Muslim dan Kristen secara umum, meski ia mengambil signifikansi tertentu dalam konteks situasi politik yang khas Timor Timur. Kerusuhan yang sama di Flores pada tahun yang sama juga serupa dengan yang terjadi di Timor Timur. Kekerasan itu terkait dengan insiden penodaan roti suci di Flores dan wilayah-wilayah Katolik lain di NTT. Selama 1980-an, ada lebih dari 45 kasus penodaan roti suci yang dilaporkan di berbagai daerah provinsi tersebut, dengan puncak sampai 25 kasus antara 1990 dan 1995.
Terkikisnya legitimasi pemerintahan Soeharto serta naiknya ketegangan antara Muslim dan Kristen tampaknya banyak menyulut kemarahan tadi. Menurut pendapat Gereja Katolik, hal-hal yang menjadi penyebab kekerasan adalah kecurigaan lokal pada polisi dan angkatan bersenjata yang dianggap melanggar hukum, manipulasi pemerintah dan kegagalan untuk memenuhi janji-jnjinya, dan korupsi beserta masalah-masalah sosio-ekonomi, pengangguran dan pemiskinan lokal.
Selain itu masih banyak konflik-konflik dengan latar belakang yang hampir sama terjadi di Indonesia. Antara tahun 1994 dan 1996, jumlah kasus kekerasan antara orang-orang Kristen dan Muslim meningkat secara dramatis. Dari Flores sampai Tasikmalaya, insiden-insiden yang menjadi pemicu beragam, tapi akibatnya mirip. Para perusuh menjadikan gereja, kedai dan toko-toko Muslim pendatang atau Cina-Kristen, dan kantor-kantor pemerintah sebagi sasaran.
Naiknya Abdurrahman Wahid ke tampuk kekuasaan terjadi ketika ketegangan antara orang-orang Kristen dan Muslim mencapai puncaknya, dan menjadi gejala perpecahan Muslim menyangkut masa depan negara.
Kerusuhan-kerusuhan di Indonesia adalah tanggapan terhadap ketimpangan sosial ekonomi, penggusuran ekonomi oleh pendatang, legitimasi politik yang menurun,dan pandangan engenai ancaman terhadap identitas kelompok. Dalam sejumlah kasus kerusuhan ini melibatkan keluhan yang lebih langsung atas hak-hak praktik agama. Penggunaan identitas agama menuntut penjelasan melampaui berbagia sebab kekerasan yang bersifat langsung. Analisa terdahulu menunjuk kepada kepekaan agama yang tiada habisnya dalam konflik di indonesia.
II.                KONFLIK DI MALUKU 
Pada Januari 1999, kekerasan mendadak dan mengejutkan pecah antara orang-orang Kristen dan Muslim di provinsi Maluku Indonesia. Tadinya terlihat sebagai wilayah stabil Nusantara, dengan cepat ia menjadi tempat perelisihan beragama yang berakibat mengenaskan.ribuan orang terbunuh dalam sepanjang spiral tahu-tahun berikutnya. Meski kurang begitu dikenal di wilayah Indonesia lainnya dan lebih banyak diacuhkan di rezim Soeharto, Maluku kemudian menjadi kesibukan inti pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati.
Ambiguitas peran Islam dalam bangsa indonesia dan hubungan patrimornial yang mendukung rezim Orde Baru telah mempertegas perpecahan diantara orang-orang Kristen dan Islam. Identitas agama memainkan peran kuat dalam persaingan untuk posisi-posisi di Maluku. Dalam birokrasi-birokrasi dan pemerintahan daerah, oarang-orang Kristen jengkel terhadap kian bertambahnya Muslim di daerah yang dulunya mereka kendalikan. Ketegangan mulai naik secara lebih mentab ketika Muslim lebih disukai dibawah perubahan kebijakan Soeharto pada 1990-an.
Ketegangan-ketegangan itu kemudian dipadu dengan pesatnya migrasi yang mengubah keseimbangan antara orang-orang Kristen dan Muslim. Program transmigrasi menarik banyak Muslim ke Maluku dan memicu tuduhan terhadap pemerintah. Ketegangan ini menjadi salah satu pemicu memanasnya hubungan Kristen dan Muslim.
Meletusnya kekerasan dan intensitasnya adalah akibat langsung dari ketegangan yang terus meningkat diantara kelompok-kelompok agama. Kerusuhan berskala besar pertama meletus pada 1999. Ia berawal pada 19 Januari, Idul Fitri, hari terakhir bulan sici Ramadhan bagi Muslim. Konflik terus berlanjut selama tiga hari berikutnya. Ia menyebar ke komunitas Batu Gantung, Waringin, Pantai Karang, Passo, Nania, Wailete, Kamiri, Hative Besar, dll. Konflik juga terjadi antara Kristen dan Muslim di Maluku tak berpreseden.
Krisis di Ambon mulai membentuk dinamikanya sendiri dan mencerminkan ketidakpercayaan mendalam yang telah tumbuh diantara orang-orang Kristen dan islam. Persaingan lokal atas sumber daya dan posisi-posisi, polarisasi identitas agama, ketakutan akan peluang di masa depan, dan ancaman terhadap masing-masing komunitas telah menjadi lahan yang subur  bagi konflik.
Faktor kelembagaan menyediakan konteks bagi potensi kekerasan tetapi tidak menjelaskan intensitas dan skalanya. Dipadukan dengan faktor-faktor lokal seperti pemisahan histois antara orang-orang Kristen dan Muslim, jumlah kedua komunitas yang hampir sebanding, dan efek migrasi, kesemuanya itu membuat Maluku secara khusus rentan terhadap konflik.

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. 1.Transmigrasi perlu dilakukan mengikuti keperluan yang memadai dari
    aspek - ekonomi, sosial, budaya dan agama/kepercayaan di wilayah
    destinasi.

    2.Transmigrasi harus mendapat izin tetap/sementara dari pemerintahan
    lokal dengan syarat mendapat kebenaran untuk tinggal dari masyarakat
    lokal.
    3.Transmigrasi bukan suatu bentuk program wajib, program ini dilakukan
    mengikuti keperluan saja.
    4.Transmigrasi bukan satu cara penyelesaian masalah kepadatan penduduk.
    Oleh itu, kadar kelahiran/pertambahan pendudukan di daerah asal harus
    dikawal secara saksama. Dalam beberapa penelitian terbukti bahwa akibat transmigrasi membawa implikasi negatif kepada penduduk lokal dan perkara ini membawa kepada masalah sosial jangkapanjang yang sukar diselesaikan.

    BalasHapus