Sejak 1998, yang menandai akhir dari tigapuluh tiga tahun rezim
Orde Baru di bawah Presiden Suharto, kekerasan dan konflik etnis di Indonesia
meningkat secara dramatis. Dalam uraiannya yang detil, Jacques Bertrand
berpendapat bahwa konflik-konflik di Maluku, Kalimantan, Aceh, Papua, dan Timor
Timur adalah akibat dari tafsir-ulang Orde Baru yang sempit dan mengekang atas
“model kebangsaan” Indonesia.
Pada masa Orde Baru, konsep nasionalisme mengalami penyempitan maka
ada beberapa etnis yang merasa tidak terlingkupi dalam konsep tersebut. Pada
saat terjadinya transisi ada ruang untuk menegosiasikan diri antar kelompok
etnis dan negara dalam konsep nasionalisme itu sendiri. Seperti pada saat
pemilukada ada semacam ruang untuk menekan atau menjadi pembenar bahwa bagi
kelompok mayoritas agama yang menempati wilayah itu harus ada keadilan dalam
beragama.
I.
PENINGKATAN KONFLIK AGAMA
Islamisasi di masa Orde Baru telah meningkatkan ketegangan diantara
orang-orang Kristen dan Muslim. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara
lain:
·
Kecenderungan
yang mengarah kepada peran Muslim lebih besar dalam pemerintahan,
·
Pembentukan
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia),
·
Peminggiran
serentak terhadap orang-orang Kristen dari lembaga-lembaga inti yang berarti
·
Meningkatnya
ketidakpastian mengenai masa depan rezim Orde Baru, orang-orang Kristen kawatir
bahwa era pasca Soeharto akan bisa mengarah kepada timbulnya negara Islam atau
kekuasaan mayoritas yang akan menyingkirkan mereka.
·
Transmigrasi
yang disponsori pemerintah dari daerah-daerah berpenduduk padat ke
tempat-tempat yang jarang penduduknya merupakan sumber kesenjangan
·
Perbedaan
kepentingan ekonomi dan politik, konflik diantara kaum pendatang dan penduduk
setempat di provinsi-provinsi Indonesia timur baru-baru ini dengan kuat
menunjukkan bahwa etnisitas dan agam telah bercampur-baur dengan faktor-faktor
Ekonomi dan Politik. Penduduk pribumi di Indonesia timur yang bisa
diklasifikasikan sebagai “Kristen-Melanesia” pada umumnya memiliki sumber daya
manusia yang lebih rendah dan telah “berbenturan” dengan pendatang
“Muslim-Melayu” yang memiliki kapasitas sumber daya manusia relatif lebih
tinggi.
Kerusuhan-kerusuhan
Dalam semua kasus kekerasan dan kerusuhan antara orang-orang Muslim
dan Kristenberikut ini, ada bukti jelas bahwa memuncaknya ketegangan sebelumnya
adalah akibat dari Islamisasi lembaga-lembaga Orde Baru dan efeknya pada
hubungan-hubungan agama.
Rangkaian kekerasan besar pertama terjadi di Timor-Timur, yang
menhadapkan orang-orang Timor-Timur Katolik melawan para pedagang Muslim dari
Sulawesi Selatan (Bugis) pada November 1994. Kekerasan ini dipicu setelah
adanya penusukan seorang lelaki Timor oleh seorang pedagang Bugis.
Insiden paling dramatis terjadi antara 7 dan 12 September 1995.
Kerusuhan meledak di Dili dan beberapa kota lain setelah adanya laporan bahwa
seorang lelaki di penjara Maliana telah membuat pernyataan yang menyinggung
umat Katolik.
Waktu dan watak kerusuhan menunjukkan bahwa ia mencerminkan naiknya
ketegangan antara Muslim dan Kristen secara umum, meski ia mengambil
signifikansi tertentu dalam konteks situasi politik yang khas Timor Timur.
Kerusuhan yang sama di Flores pada tahun yang sama juga serupa dengan yang
terjadi di Timor Timur. Kekerasan itu terkait dengan insiden penodaan roti suci
di Flores dan wilayah-wilayah Katolik lain di NTT. Selama 1980-an, ada lebih
dari 45 kasus penodaan roti suci yang dilaporkan di berbagai daerah provinsi
tersebut, dengan puncak sampai 25 kasus antara 1990 dan 1995.
Terkikisnya legitimasi pemerintahan Soeharto serta naiknya
ketegangan antara Muslim dan Kristen tampaknya banyak menyulut kemarahan tadi.
Menurut pendapat Gereja Katolik, hal-hal yang menjadi penyebab kekerasan adalah
kecurigaan lokal pada polisi dan angkatan bersenjata yang dianggap melanggar
hukum, manipulasi pemerintah dan kegagalan untuk memenuhi janji-jnjinya, dan
korupsi beserta masalah-masalah sosio-ekonomi, pengangguran dan pemiskinan
lokal.
Selain itu masih banyak konflik-konflik dengan latar belakang yang hampir
sama terjadi di Indonesia. Antara tahun 1994 dan 1996, jumlah kasus kekerasan
antara orang-orang Kristen dan Muslim meningkat secara dramatis. Dari Flores
sampai Tasikmalaya, insiden-insiden yang menjadi pemicu beragam, tapi akibatnya
mirip. Para perusuh menjadikan gereja, kedai dan toko-toko Muslim pendatang
atau Cina-Kristen, dan kantor-kantor pemerintah sebagi sasaran.
Naiknya Abdurrahman Wahid ke tampuk kekuasaan terjadi ketika
ketegangan antara orang-orang Kristen dan Muslim mencapai puncaknya, dan
menjadi gejala perpecahan Muslim menyangkut masa depan negara.
Kerusuhan-kerusuhan di Indonesia adalah tanggapan terhadap
ketimpangan sosial ekonomi, penggusuran ekonomi oleh pendatang, legitimasi
politik yang menurun,dan pandangan engenai ancaman terhadap identitas kelompok.
Dalam sejumlah kasus kerusuhan ini melibatkan keluhan yang lebih langsung atas
hak-hak praktik agama. Penggunaan identitas agama menuntut penjelasan melampaui
berbagia sebab kekerasan yang bersifat langsung. Analisa terdahulu menunjuk
kepada kepekaan agama yang tiada habisnya dalam konflik di indonesia.
II.
KONFLIK DI MALUKU
Pada Januari 1999, kekerasan mendadak dan mengejutkan pecah antara
orang-orang Kristen dan Muslim di provinsi Maluku Indonesia. Tadinya terlihat
sebagai wilayah stabil Nusantara, dengan cepat ia menjadi tempat perelisihan
beragama yang berakibat mengenaskan.ribuan orang terbunuh dalam sepanjang
spiral tahu-tahun berikutnya. Meski kurang begitu dikenal di wilayah Indonesia
lainnya dan lebih banyak diacuhkan di rezim Soeharto, Maluku kemudian menjadi
kesibukan inti pemerintahan Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati.
Ambiguitas peran Islam dalam bangsa indonesia dan hubungan
patrimornial yang mendukung rezim Orde Baru telah mempertegas perpecahan
diantara orang-orang Kristen dan Islam. Identitas agama memainkan peran kuat
dalam persaingan untuk posisi-posisi di Maluku. Dalam birokrasi-birokrasi dan
pemerintahan daerah, oarang-orang Kristen jengkel terhadap kian bertambahnya
Muslim di daerah yang dulunya mereka kendalikan. Ketegangan mulai naik secara
lebih mentab ketika Muslim lebih disukai dibawah perubahan kebijakan Soeharto
pada 1990-an.
Ketegangan-ketegangan itu kemudian dipadu dengan pesatnya migrasi
yang mengubah keseimbangan antara orang-orang Kristen dan Muslim. Program
transmigrasi menarik banyak Muslim ke Maluku dan memicu tuduhan terhadap
pemerintah. Ketegangan ini menjadi salah satu pemicu memanasnya hubungan
Kristen dan Muslim.
Meletusnya kekerasan dan intensitasnya adalah akibat langsung dari
ketegangan yang terus meningkat diantara kelompok-kelompok agama. Kerusuhan
berskala besar pertama meletus pada 1999. Ia berawal pada 19 Januari, Idul
Fitri, hari terakhir bulan sici Ramadhan bagi Muslim. Konflik terus berlanjut
selama tiga hari berikutnya. Ia menyebar ke komunitas Batu Gantung, Waringin,
Pantai Karang, Passo, Nania, Wailete, Kamiri, Hative Besar, dll. Konflik juga
terjadi antara Kristen dan Muslim di Maluku tak berpreseden.
Krisis di Ambon mulai membentuk dinamikanya sendiri dan
mencerminkan ketidakpercayaan mendalam yang telah tumbuh diantara orang-orang
Kristen dan islam. Persaingan lokal atas sumber daya dan posisi-posisi,
polarisasi identitas agama, ketakutan akan peluang di masa depan, dan ancaman
terhadap masing-masing komunitas telah menjadi lahan yang subur bagi konflik.
Faktor kelembagaan menyediakan konteks bagi potensi kekerasan
tetapi tidak menjelaskan intensitas dan skalanya. Dipadukan dengan
faktor-faktor lokal seperti pemisahan histois antara orang-orang Kristen dan
Muslim, jumlah kedua komunitas yang hampir sebanding, dan efek migrasi,
kesemuanya itu membuat Maluku secara khusus rentan terhadap konflik.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus1.Transmigrasi perlu dilakukan mengikuti keperluan yang memadai dari
BalasHapusaspek - ekonomi, sosial, budaya dan agama/kepercayaan di wilayah
destinasi.
2.Transmigrasi harus mendapat izin tetap/sementara dari pemerintahan
lokal dengan syarat mendapat kebenaran untuk tinggal dari masyarakat
lokal.
3.Transmigrasi bukan suatu bentuk program wajib, program ini dilakukan
mengikuti keperluan saja.
4.Transmigrasi bukan satu cara penyelesaian masalah kepadatan penduduk.
Oleh itu, kadar kelahiran/pertambahan pendudukan di daerah asal harus
dikawal secara saksama. Dalam beberapa penelitian terbukti bahwa akibat transmigrasi membawa implikasi negatif kepada penduduk lokal dan perkara ini membawa kepada masalah sosial jangkapanjang yang sukar diselesaikan.