KERAJAAN KUTAI
Berdasarkan
sumber-sumber berita yang berhasil ditemukan menunjukkan bahwa Kerajaan Kutai
berdiri pada abad ke-5 M di Lembah Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Nama kerajaan
ini diambil dari nama daerah tempat ditemukannya prasasti, yaitu di daerah
Kutai. Hal ini disebabkan, karena setiap prasasti yang ditemukan tidak ada yang
menyebutkan nama dari kerajaan tersebut. Oleh karena itu, para ahli memberi
nama kerajaan itu Kutai. Wujud prasastinya berupa tujuh buah tugu batu besar
yang disebut yupa. Ketujuh yupa ini merupakan sumber sejarah Kutai. Fungsi yupa
sesungguhnya adalah tugu batu untuk menambatkan lembu kurban. Aksara yang
dipahatkan pada yupa berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Prasasti
tersebut dikeluarkan oleh penguasa Kutai bernama Mulawarman. Mulawarman adalah
orang Indonesia asli. Kakeknya, Kudungga, masih menggunakan nama asli
Indonesia. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup wilayah yang cukup luas, yaitu
hampir menguasai seluruh wilayah Kalimantan Timur. Bahkan pada masa
kejayaannya, Kerajaan Kutai memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu hampir sebagian
wilayah Kalimantan.
B.
Sumber-Sumber
Walaupun bukti-bukti yang ada
menunjukkan, bahwa kerajaan tertua di Indonesia terletak di Kalimantan, tapi
sedemikian jauh pulau tersebut sedikit sekali diperhatikan oleh para penulis tambo
di daratan Cina. Hal ini cukup menarik, karena biasanya para penulis tambo di
daratan Cina rajin sekali menuliskan hal-hal aneh yang mereka ketahui dari
suatu daerah asing. Berita tertua Cina yang bertalian dengan salah satu daerah
di Kalimantan, berasal dari zaman dinasti T’ang (618-906), padahal
berita-berita Cina yang berhubungan dengan Jawa sudah ada sejak abad V Masehi, dan
Sumatra pada awal abad VI Masehi, pada zaman pemerintahan dinasti Liang (502-56).
Tidak adanya perhatian dari pihak Cina itu,
kemungkinan sekali disebabkan karena Kalimantan tidak terletak pada jalan niaga
Cina yang utama, walaupun di daerah Serawak misalnya ditemukan beberapa buah
benda yang berasal dari zaman dinasti Han yang mulai berkuasa pada tahun 220
SM. Ternyata,
kurangnya perhatian terhadap sejarah daerah Kalimantan itu, terus melanjut di
masa-masa sesudahnya, sehingga di dalam keseluruhan sejarah kebudayaan Asia
Tenggara misalnya daerah ini masih tetap merupakan suatu daerah yang
terlupakan.
Di daerah yang berada di luar jangkauan
perhatian Cina itulah, untuk pertama kalinya ditemukan bukti-bukti tertua akan
adanya suatu kehidupan masyarakat yang bercorak keindiaan, yaitu Sulawesi
Selatan dan Kalimantan Timur. Dengan ditemukannya arca Budha yang terbuat dari
perunggu di Sempaga, Sulawesi Selatan, maka
untuk pertama kalinya didapatkan bukti tentang adanya hubungan serta pengaruh
tertua budaya India di Indonesia. Penemuan arca ini sangat penting, karena
dapat memberi petunjuk tentang bagaimana taraf hidup dan budaya bangsa
Indonesia pada waktu tersebut. Berdasarkan ciri-ciri ikonografinya dapat
ditentukan bahwa arca Sempaga ini berasal dari mazhab seni Amaravati dan
rupanya dibuat disana, kemudian dibawa ke Indonesia. Mungkin sebagai barang
dagangan tetapi mungkin juga sebagai barang persembahan untuk sesuatu vihara
atau bangunan suci agama Budha. Selain di Sempaga, arca-arca langgam Amaravati
ini juga ditemukan antara lain di Jember dan Bukit Seguntang, sementara di Kota
Bangun (Kutai) ditemukan sejumlah arca Budha yang memperlihatkan langgam seni
arca Gandara.
Menurut Foucher
dan Bosch, ciri seni Gandhara tampak pada sikap
tangan dan hiasan jala pada telapak tangan arca Budha Kota Bangun. Disamping
arca-arca Budha, juga ditemukan arca-arca yang memperlihatkan sifat-sifat
kehinduan diantaranya mukhalinga yang
ditemukan di Sepauk, dan arca Ganesa yang ditemukan di Sarawak. Walaupun
daerah Kalimantan dan Sulawesi berada di luar perhatian Cina, tetapi tidak berarti
bahwa kedua daerah tersebut tertutup sama sekali dari kemungkinan mengadakan
hubungan dengan luar. Temuan-temuan yang disebutkan di atas, merupakan salah
satu buktinya. Hubungan tersebut tentulah pada mulanya melalui hubungan niaga,
yang kemudian berkembang mejadi hubungan agama dan budaya. Melalui hubungan
niaga itu, turut pula pendeta yang bermaksud menyebarkan agama, yang kemudian
disusul dengan perginya orang Indonesia ke daerah asal para guru agama atau
pendeta itu. Hubungan seperti itu, sudah berlangsung cukup lama. Didalam
proses terjadinya hubungan timbal-balik seperti itu, maka masyarakat-masyarakat
setempat yang sudah menetap di beberapa daerah tertentu, menerima budaya dan
peradaban baru.
aa. Prasasti
Selain benda-benda berupa arca seperti
yang disebutkan di atas, dari daerah Kalimantan Timur, tepatnya di Bukit
Berubus, Muara Kaman pada tahun 1879 ditemukan beberapa buah prasasti yang
dipahatkan pada tiang batu. Tiang batu itu berupa yupa, yaitu nama yang disebutkan pada prasasti-prasasti sendiri.
Sampai saat ini telah ditemukan tujuh buah prasasti yupa, dan masih ada kemungkinan beberapa buah yupa yang lain belum ditemukan sampai saat ini. Dari
prasasti-prasasti yang ditemukan di Kalimantan Timur itu, yang mula-mula
ditemukan hanya tiga buah yupa saja, tetapi
kemudian tiga buah yupa yang lainnya ditemukan lagi. Huruf
yang dipahat pada yupa itu berasal dari awal abad V Masehi, sedangkan bahasanya
ialah bahasa Sansekerta. Semuanya dikeluarkan atas titah seorang penguasa
daerah itu pada masa tersebut, yang bernama Mulawarman , yang dapat dipastikan
bahwa ia adalah seorang Indonesia asli karena kakeknya masih mempergunakan nama
Indonesia asli, Kudunga.
Gambar 1.4 Prasasti Yupa (Sumber: Indonesian Heritage, Bahasa dan Sastra, hal. 16–17) dalam buku Imtam
Sejarah Kelas XI untuk SMA/MA Program Bahasa.
Prasasti yang menyebutkan silsilah
Mulawarman, raja terbesar di daerah Kutai Purba itu, berbunyi sebagai berikut :
çrῑmatah
çrῑ-narendrasya,
kuṇḍuṅgasya mahātmanaḥ,
putro çvavawmmo vikhyātah,
vaṅçakarttā yathāṅçumān,
tasya putrā mahātmanāh,
trayas traya ivāgnayah,
teṣān trayāṇām pravarah,
tapo-bala--damānvitaḫ,
çrῑ mūlavarmmā rājendro,
yaṣţvā bahusuvarṇnakam,
tasya yajῆasya yūpo ‘yam,
dvijendrais samprakalpitah.
Terjemahan :
Sang Maharaja Kudunga, yang amat mulia,
mempunyai putra yang mashur, Sang Aswawarmman namanya, yang seperti Sang
Ansuman (=dewa Matahari) menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang
Aswawarmman mempunyai tiga putra, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka
dari ketiga putra itu ialah Sang Mulawarmman, raja yang berperadaban baik, kuat
dan berkuasa. Sang Mulawarmman telah
mengadakan kenduri (selamatan yang dinamakan) emas-amat-banyak. Buat peringatan
keduri (selamatan) itulah tugu batu ini didirikan para brahmana.
Dari prasasti itu dapat diketahui bahwa
sedikitnya ada tiga angkatan dalam keluarga, dimulai dengan raja Kudunga yang
mempunyai anak bernama Aswawarman, dan Aswawarman yang mempunyai tiga orang
anak, seorang di antaranya bernama Mulawarman.
Yang menarik dari prasasti ini ialah
berita yang menyebutkan bahwa pendiri keluarga kerajaan (=vansakartta ) ialah Aswawarman, dan bukan Kudunga yang dianggap
sebagai raja pertama. Apakah pengertian wangsakarta dalam prasasti ini,
ditujukan kepada pengertian keluarga yang sudah berbudaya India, yang antara
lain ditandai dengan pemakaian nama yang berbau India ? Karena Kudunga sendiri
jelas bukan nama yang berbau India, maka walaupun ia memang disebutkan sebagai
ayah Aswawarman dan pernah menjadi raja, tetapi tidak dianggap sebagai pendiri
keluarga raja. Jika kita ketahui, bahwa pada saat sekarang ada nama Bugis yang
mirip dengan Kundunga yaitu Kadungga, barangkali tidak akan terlalu jauh dari
kebenaran, seandainya Kundunga dianggap sebagai Indonesia asli yang untuk
pertama kalinya menyentuh budaya India, tetapi belum menyatakan. Di mulai
dengan Aswawarman dan dilanjutkan dengan
Mulawarman, kita berhadapan dengan nama-nama yang sudah berbau India, dan berdasarkan berita dari
prasasti-prasastinya juga jelas bahwa pada waktu itu agama yang dipelukpun
agama yang berasal dari India juga.
Apakah mungkin, seseorang yang dilahirkan
bukan sebagai orang India yang tergolong ke dalam kasta-kasta sejak mereka
dilahirkan, menyamakan dirinya sama sekali sederajat dengan orang India,
seperti yang diperlihatkan oleh Mulawarman ? Prasasti lain yang dikeluarkan
oleh Mulawarman berbunyi sebagai berikut
:
çrῑmad-virāja-kῑrtteh
rājῆah çrῑ-mūlavarmmaṇaḥ puṇyam
çṛṇantu vipramukhyāḥ
ye cānye sādhavaḥ puruṣāḥ
bahudāna-jῑvadānam
sakalpavṛkṣam sabhūmidānaῆ ca
teṣām
puṇyagaṇānām
yūpo ‘yam stāhipito vipraiḥ
Terjemahan :
Dengarkanlah oleh kamu sekalian, Brahmana
yang terkemuka, dan sekalian orang baik lain-lainnya, tentang kebaikan budi
Sang Mulawarmman, raja besar yang sangat mulia. Kebaikan budi ini ialah
berwujud sedekah banyak seklai, seolah-olah sedekah kehidupan atau semata-mata
pohon Kalpa (yang memberi segala keinginan), dengan sedekah tanah (yang
dihadiahkan). Berhubung dengan semua kebaikan itulah maka tugu ini didirikan
oleh para Brahmana (sebagai peringatan).
Peringatan yang ketiga berbunyi sebagai
berikut :
ṡrῑ-mūlavarmmaṇā
rājῆā
yad
dattan tila-parvvatam
sa-dῑpamālayā
sārddham
yūpo
yam likhitas tayoḥ
Terjemahan :
Tugu
ini ditulis buat (peringatan) dua (perkara) yang telah disedekahkan oleh Sang
Raja Mulawarmman, yakni segunung minyak (kental), dengan lampu serta malai
bunga.
Masih ada lagi prasastinya yang lain,
berbunyi :
ṡrῑmato
ṇrpamukhyasya
rājῆāḥ
ṡrῑ-mūlavarmmanaḥ
dānām
puṇyatame kṣetre
yad
dattam vaprakeṡvare
dvijātibhyo
gnikalpebhyaḥ
viṅṡatir
nggosahasrikam
tasya
puṇyasya yūpo yam
kṛto
viprair ihāgataiḥ
Terjemahan :
Sang
Mulawarmman, raja yang mulia dan terkemuka, telah memberi sedekah 20.000 ekor
sapi kepada para Brahmana yang seperti api, (bertempat) di dalam tanah yang
sangat suci (bernama ) Waprakeswara.
Buat (peringatan) akan kebaikan budi sang raja itu tugu ini telah dibikin oleh
para Brahmana yang datang di tempat ini.
Prasasti yang lain yang ditemukan
belakangan, berbunyi sebagai berikut :
ṡrῑ-mūlavarmma
rājendra(ḥ) sama vijitya pārtthi(vān)
karadām
nṛpatῑmmṡ cakre yathā rājā yudhiṣţhiraḥ
catvarimṡat
sahasrāṇi sa dadau vapprakeṡvare
bā
… trimṡat sahasrāṇi punar ddadau
mālām sa punar jῑvadānam
pritagvidham
ākāṡadῑpam
dharmmātmā pārtthivendra (h) svake pure
…
… … … … … … mahātmanā
Yūpo
yam sth (apito) viprair nnānā deṡād ihā (gataiḥ //)
Terjemahan :
Raja Mulawarman yang tersohor telah
mengalahkan raja-raja di medan perang, dan menjadikan mereka bawahannya seperti
yang dilakukan oleh raja Yudhistira. Di waprakeswara
raja Mulwarman menghadiahkan (sesuatu) 40 ribu, lalu 30 ribu lagi. Raja
yang saleh tersebut juga memberikan jivadana
dan cahaya terang (?) di kotanya. Yupa ini didirikan oleh para brahmana
yang datang ke sini dari perbagai tempat.
Dari prasasti-prasastinya yang sudah
ditemukan sampai saat ini, kita dapat mengetahui nama beberapa orang tokoh yang
disebutkan, serta bagaimana kira-kira kehidupan keagamaan pada waktu itu.
Tetapi, sedemikian jauh kita tidak dapat mengetahui, bagaimana kehidupan dan
keadaan masyarakat pada umumnya.
Bahan yang sampai kepada kita, belum dapat
dipergunakan untuk mengungkapkan keadaan zaman tersebut secara lengkap dan
menyeluruh, sehingga pengetahuan kita pun mengenai zaman tersebut untuk
sementara tidak pula akan bertambah sebelum ditemukan bukti-bukti yang lebih
baru untuk melengkapi bahan-bahan yang telah ada.
b.
Temuan Arkeologi
Kecuali prasasti yūpa dan arca Budha dari Kota Bangun, di wilayah Kalimantan Timur
ditemukan pula peninggalan-peninggalan arkeologi yang menunjang bukti keberadaan
kerajaan Mulawarman dan bahkan kelompok-kelompok masyarakat sebelum masa
Mulawarman.
Peninggalan yang berasal dari masa sebelum
Mūlawarman yaitu dengan ditemukannya di gua-gua di sepanjang Sungai Jelai,
Tepian Langsat, Kabupaten Kutai Timur. Peninggalan tersebut berupa lukisan cap
tangan pada dinding gua. Diperkirakan gua-gua tersebut merupakan pemukiman masa
prasejarah di wilayah Kalimantan Timur.
Di Bukit Berubus, Muara Kaman, Kabupaten
Kutai Kertanegara, tempat ditemukannya prasasti yūpa, banyak ditemukan arca-arca perunggu oleh para penggali liar
pada tahun 90-an. Sayang arca-arca tersebut tidak ada yang tersimpan di museum
sehingga tidak dapat diidentifikasi jenis dan penanggalannya.
Ekskavasi yang di adakan di situs tersebut
menemukan sisa-sisa bangunan (mungkin candi) dari batu kapur, tetapi tinggal
dasar pondasi bangunan saja, dan beberapa fragmen batu berpelipit yang jelas merupakan
komponen bangunan. Di tempat lain, masih di situs yang sama, ditemukan batu
peripih, yang biasanya diletakkan di dalam sumuran candi. Peripih tersebut
ditemukan dalam keadaan kosong. Meskipun tidak banyak data yang didapatkan dari
penemuan-penemuan tersebut, setidaknya kita dapat memperkirakan adanya kegiatan
keagamaan di tempat itu, yang kemungkinan sezaman dengan Mulawarman.
Wilayah Kalimantan Timur yang lain yang
juga memiliki peninggalan Hindu adalah Desa Long Bagun, di daerah hulu Sungai
Mahakam. Di desa tersebut terdapat sebuah nandi
(batu), tetapi tidak ada temuan sisa bangunan atau arca lain. Nandi di Desa
Long Bagun ini masih dalam keadaan utuh. Di daerah Kota Bangun juga ditemukan
dua buah fragmen nandi dari batu, yang sudah sangat halus, jadi tidak jelas
lagi bentuknya. Juga tidak dapat ditentukan dengan pasti pertanggalannya,
sehingga nandi-nandi itu, baik dari Long Bagun maupun Kota Bangun, belum jelas
apakah semasa dengan Mulawarman atau tidak.
Sejumlah arca yang ditemukan di dalam gua
Kombeng, Kabupaten Kutai Timur, diperkirakan berasal dari periode yang lebih
muda dari Mulawarman, mungkin dari abad VIII-IX Masehi. Meskipun ditemukan
bukti keberadaan masyarakat penganut agama Hindu dari masa yang lebih muda dari
masa Mulawarman, belum diketahui dengan jelas bagaimana hubungannya dengan
kerajaan Mulawarman.
mantap
BalasHapus