1
. Masa Pra-Kolonial: Sistem Kebun pada Masa Tradisional
1.1. Dari ladang ke kebun
Selama kurang
lebih dua ribu tahun terakhir masyarakat di kepulauan nusantara secara bertahap
telah mengembangkan dua tipe kegiatan pertanian yaitu:
a) kegiatan pertanian yang menggarap tanaman subsisten
b) menggarap tanaman perdagangan
Kegiatan ini
menunjukkan keanekaragaman, baik dari segi tanaman, pemilikan tanah, motif
ekonomi kebudayaan, teknologi dan lingkungan yang mempengaruhi pertanian. Dari
berbagai keanekaragaman tersebut terdapat empat system pertanian ialah:
a) sistem perladangan yaitu jenis kegiatan pertanian yang dilakukan
secara berpindah-pindah, dengan penanaman berbagai tanaman berumur pendek,
terutama tanaman pangan.
b) Sistem persawahan
c) Sistem kebun yaitu kegiatan pertanian yang menggarap tanaman
berusia panjang atau tanaman penghasil panenan
d) Sistem tegalan yaitu tipe kegiatan penanaman tanaman pangan
secara tetap pada daerah lahan kering.
Masing-masing
sistem telah berlaku di daerah Indonesia sebelum bangsa eropa, dan masing-masing
hingga masa kini juga masih berlaku. Patut dicatat bahwa selama ribuan tahun
telah terjadi perkembangan variasi regional, melalui proses akulturasi dan
perdagangan antar pulau.
1.2. Kebun Komoditi Perdagangan
Salah satu
perubahan yang lebih penting dari pada variasi daerah ladang ialah perubahan
dari system ladang ke system kebun permanen, yang menanam tanaman perdagangan.
Kebun tanaman campuran merupakan salah satu tipenya. Kebun bertanam campuran di
Jawa diduga telah berkembang di Jawa Tengah sebelum abad ke-10. Kebun semacam
juga berkembang di Sumatera dan Sulawesi Selatan pada masa yang tua pula,
disamping di daerah Nusa Tenggara. Sebaliknya, berbeda dengan kebun campuran
yang lebih di tunjukkan untuk tujuan subsistan, sejumblah daerah di luar Jawa sebelum
masa abad ke -19, telah mengembangkan kebun tanaman perdagangan misalnya: kopi,
lada, kapur barus, dan rempah-rempah. Kopi diperkenalkan di Jawa oleh Belanda
pada 1699 yang kemudian dikembangkan dengan system paksa, yaitu system
priyangan di Jawa Barat pada masa VOC. Pada waktu itu kopi belum di tanam di
luar Jawa, walaupun pada awal abad ke-19 menjadi tanaman komoditi penting di
daerah Sumatera dan daerah lainnya.
2. Perkebunan Swasta
2.1. Perkebunan Swasta di Jawa
Prinsip
ekonomi liberal secara formal meberikan kebebasan kepada petani untuk
menyewakan tanahnya dan dilain pihak menyediakan tenaganya bagi penyelenggaraan
perusahaan perkebunan. Pada masa ini, insentif yang diterima oleh petani jauh
lebih besar ketimbang pada saat tanam paksa.
Pada masa
transisi terlihat jelas proses pergeseran dari usaha pemerintah ke swasta
dengan penyusutan perkebunan milik pemerintah dan meluasnya perkebunan swasta.
Komoditi yang memegang peranan penting adalah kopi, gula, teh, tembakau, teh,
dan indigo. Hal ini dikarenakan banyaknya investor yang menanamkan modalnya di
Hindia Belanda.
Politik etis
yang terkenal dengan triadenya, emigrasi, edukasi, dan irigasi, mulai
dijalankan oleh pemerintah Belanda pada tahun 1901 sebagai politik kehormatan
yang ditujukan untuk meningkatakan kesejahteraan rakyat dengan peningkatan
pembangunan infrastruktur.
Perkembangan
perkebunan pada masa ini memperlihatkan peningkatan terus, yang paling menonjol
adalah peningkatan dari tahun 1905 hingga 1909.
Sesungguhnya
perkebunan swasta telah dimulai sejak tahun 1816 di daerah kesultanan
(vorstenlanden) yang kemudian tidak dikenalkan cultuurstelsel itu.
Para entrepreneur Barat maupun Cina menyewa tanah-tanah dari kaum bangsawan dan
mengusahakan perkebunan kopi, gula, tembakau, indigo dan lain-lain. Selain itu
juga ditanah-tanah partikelir di sepanjang pantai utara Jawa (dibeli oleh orang
Cina sejak masa VOC).
Dr. H.V.J.
Houben menunjukan betapa pentingnya perkebunan swasta ini dibandingkan
dengan cultuurstelsel. Namun demikian perkebunan swasta berkembang dengan
pesat setelah kabinet liberal mengambil alih pemerintahan di Negeri Belanda dan
menyiapkan prasarana hukum unttk memberi jaminan bagi penanaman modal swasta di
Indonesia. Perkembangan di pulau Jawa yang sudah mengalami proses
komersialisasi jauh terlebih dahulu dari luar Jawa itu menunjukkan
perbedaan-perbedaan yang cukup mencolok.
Selama periode
antara 1870 hingga 1942 perkembangan modal swasta dalam sektor perkebunan
mendominasi perekonomian Indonesia. Beberapa komoditi yang penting di Jawa
adalah gula, kopi, tembakau, teh, karet, kina dan kelapa. Di luar Jawa karet,
kelapa sawit dan tembakau merupakan produk utama.
Perkebunan
tebu merupakan tahapan pertama dari industri gula. Untuk menjadikannya gula
yang dapat diperjual-belikan dan digunakan oleh konsumen diperlukan penggilan
tebu (pabrik tebu). Seperti dikemukakan di atas, pabrik-pabrik tebu di Jawa
diusahakan oleh pihak swasta. Pada masa cultuurstelsel pihak swasta
dapat mengajukan permintaan izin pada pemerintah (zuikercontracten). Tetapi
setelah itu pabrik gula dapat diusahakan oleh swasta tanpa mengajukan izin.
Seperti dikemukakan oleh Prof. Van Niel atas pemodal utama pada
masa cultuurstelsel berasal dari dalam negeri yaitu para pensiunan
pegawai, dari perusahaan-perusahaan impor-ekspor ataupun dalam penggilingannya.
2.2. Perkebunan Swasta di Luar Jawa
Perkembangan
modal swasta di luar Jawa baru muncul secara kontinu sejak awal abad ke-20,
kecuali di Sumatera Timur (sudah sejak 1860-an). Selain itu tidak seluruh
wilayah Luar Jawa mengalami pertumbuhan. Ada wilayah-wilayah yang menunjukkan
pertumbuhan ekonomi, tetapi ada pula yang tertinggal sama sekali. Daerah-daerah
yang mengalami pertumbuhan adalah Sumatera Timur (tembakau, karet, kelapa
sawit, minyak, dan lain-lain). Palembang (karet), Riau (timah, minyak),
Kalimantan Tenggara (karet), Sulawesi Utara (kelapa) dan Sulawesi Selatan
(kelapa). Wilayah-wilayah yang tertinggal adalah Maluku, Lampung, Bnegkulu,
sebagian dari Sumatra sebagian dari Sulawesi, Nusa Tenggara dan Irian. Di
antara wilayah-wilayah itu Pulau Sumatera menunjukkan tingginya variasi
komoditi ekspor.
Sumatra Timur
merupakan wilayah pertama yang mengalami pertumbuhan sejak Nienhuis membuka
perkebunan tembakau di sana pada tahun 1864. Tembakau Deli menjadi terkenal di
pasaran Eropa sehingga berbagai pengusaha lainnya menyusul. Karena penduduk
lokal tidak bersedia bekerja di perkebunan maka pada mulanya diusahakan tenaga
kerja dari Cina. Tetapi kemudian tenaga kerja diperoleh dari Jawa. Sistem
tenaga kerja paksaan ini memang sangat menguntungkan sebab pemilik perkebunan
diberi hak untuk menghukum para pekerja yang lalai melakukan pekerjaannya
(poenale sactie). Baru pada tahun 1932 poenale sactie terpaksa di
hapus karena Amerika Serikat melarang impor barang-barang yang dihasilkan
melalui tenaga kerja paksaan.
3. Masyarakat dan Kebudayaan Perkebunan
3.1. Lokasi
Terkecuali
perkebunan teh dan tembakau, kebanyakan perkebunan terletak di daerah-daerah
pegunungan dan terpencil, suatu hal yang wajar apabila diingat bahwa
berdasarkan Undang-Undang Agraria 1870 memang yang tersedia untuk disewa
perusahaan perkebunan adalah woeste gronden, tanah “liar”, artinya tidak
digarap oleh penduduk bagi usaha taninya. Jadi letak perkebuunan pada umumnya
jauh dari pedesaan, namun masih dapat dijangkau oleh tenaga kerja yang berasal
dari pedesaan.
Pada
hakekatnya masyarakatnya adalah multirasia, terdiri atas bangda Eropa, Cina dan
Jawa atau pribumi lainnya. Tercabut dari akar kebudayaan masing-masing,
golongan-golongan dalam komunitas baru belum terikat oleh ikatan solidaritas
baru sehingga benar-benar merupakan daerah frontier dimana isolasi
dan alienasi menimbulkan krisis baik pada tingkat pribadi maupun kolektif.
Krisis itu disertai konflik dan kekerasan, maka kolektivitas hanya dapat
berfungsi apabila kekuasaan dan kekerasan kuat agar disiplin kerja dapat
dilembagakan sebagai prasarana sistem produksi yang mutlak.
Pemukiman
perkebunan merupakan suatu kompleks yang terdiri atas unsur-unsur
sosial-ekonomis yang berbeda-beda akan tetapi tidak terpisahkan dalam kaitan
kerja atau hubungan sistem produksi. Inheren dalam situasi itu ialah adanya
kontradiksi, konflik serta ketegangan terus menerus serta acapkali dengan
intensitas tinggi terutama karena perbedaan dan pertentangan kepentingan. Di
samping itu tidak ada ikatan solidaritas antara unsur-unsur tersebut yang mampu
melerai ketegangan itu.
Perlu
ditambahkan disini bahwa masyarakat itu berada dalam konteks kolonial dimana
berlaku prinsip-prinsip hubungan kolonial, bahkan dalam bentuk-bentuk lebih
murni dan tajam.
3.2. Struktur Sosial dan Struktur Kekuasaan
Perkembangan
wajar yang terjadi ialah bahwa kelompok-kelompok pemukim sebagai agregat lambat
laun berubah menjadi integrat. Sejak masa perintisan unsur Eropa berkedudukan
di lapisan atas berdasarkan peranannya sebagai pengambil prakarsa, penanam
modal, pengelola, pendeknya selaku wiraswastawan utamanya. Tenaga buruh yang
didatangkan dari luar daerah diperlakukan sebagai aktor dalam sistem produksi
terutama untuk dieksploitasi tenaga kasarnya di lapangan dalam proses penanaman,
pemeliharaan dan penuaian. Kemudian dalam proses pengolahan bahan mentah di
pabrik atau los-los masih banyak diperlukan tenaga manusia juga. Dengan
demikian peran tenaga pribumi dan Cina, Keling dan lain, ditempatkan pada
lapisa bawah.
Dalam menjalin
hubungan industr ial antar kedua lapisan diperlukan perantara. Dari pihak Eropa
hal itu dilakukan oleh tenaga pembantu (asisten) dan pengawas (opzichter).
Para tenaga
buruh, yang pada jamannya juga diseut kuli, dikelompokkan dalam regu-regu
(ploeg) yang masing-masing diawasi oleh seorang mandor.
Dari uraian di
atas tampaklah tidak hanya struktur sosial masyarakat perkebunan tetapi juga
struktur kekuasaan beserta hirarkinya. Mengingat bahwa lingkungan serta suasana
pekerjaan bercirikan daerah frontier, maka tuntutan produktivitas
perusahaan hanya dpat dipenuhi apabila ada kekuasaan yang dapat menanam
disiplin kerja yang ketat untuk menjamin eksploitasi yang kontinu serta
intensif. Jelaslah bahwa bahwa dalam kondisi itu kekuasaan otokratis atau
otoritarianismelah yang mampu mendisiplinkan tenaga kerjanya. Baik sejarah
perkembangan perkebunan, maupun kontsk kolonialnya mendorong tumbuhnya
kekuasaan jenis itu.
Plantokrasi
atau sistem kekuasaan pengusaha perkebunan ternyata dilaksanakan dengan banyak
memakai kekerasan serta jauh menyimpang dari pola hubungan industrial modern.
Golongan buruh tidak berdaya apa-apa, meskipun telah adakoeli-ordonantie.
Peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan
penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh. Di satu pihak tidak
ada hak berasosiasi pada mereka, sedang di pihak lain tidak terdapat sistem
kontrol lain yang melindungi kaum buruh. Dalam pada itu pihak pemerintah
bersikap lunak atau acuh-tidak-acuh terjadi di perkebunan. Dengan demikian
mudah timbuk kecenderungan ke arah otokrasi. Tidak mengherankan apabila
kekuatan sanksi-sanksi akan pelanggaran kontrak dan disiplin kerja didukung
oleh “terorisme” dalam pelbagai bentuknya.
3.3. Organisasi Kerja dan Hubungan Industrial
Dalam mengoperasionalisasikan
organisasi kerja di perkebunan yang amat pokok ialah peranan inti organisasi
yang di atas disebut sebagai regu (ploeg) di bawah pimpinan kepala regu (ploeg
baas). Dia berperan tidak hanya sebagai pemimpin unit tetapi juga sekaligus sebagai
“bapanya” dan “perantara” ke pihak tas. Kedudukan mandor ini merupakan kunci
dan amat strategis. Ada kalanya mereka mempergunakannya untuk melakukan
perdagangan di kalangan kuli-kuli.
Untuk menyebut beberapa jenis
hukuman, antara lain siksaan fisik, kurungan, diikat di pohon, dicampak dengan
rotan, dan lain sebagainya. Kesemuanya terjadi tanpa mengindahkan hukum serta
prosedur pengadila. Tidak dipersoalkan apakah ada hak melakukan hukuman pada
para pelaku menjalankan sanksi tersebut. Para tandil ditugaskan untuk
melaporkan segala sesuatu yang terjadi di kalangan kuli, semangatnya,
suasananya serta keresahannya. Dengan demikian dapat diketahui adanya
persengkokolan, gerakan rahasia melawan, sehingga konfrontasi antara
para opzichter dan asisten di satu pihak dengan kuli-kuli di pihak
lain.
Jam kerja setiap hari ada 10-12
jam, mulai dinihari sampai petang hari, disela oleh waktu istirahat selama 1-2
jam, antara jam 11-13.00. Setiap regu dipimpin oleh seorang mandor atau kepala
regu (ploegbaas) yang bertanggung jawab atas prestasi kuli-kuli. Lazimnya regu
wanita lebih banyak dipekerjakan di pabrik, gudang atau los.
Adapun upah dibayarkan
belakangan, pada akhir pekan. Jumlahnya dihitung berdasarkan hasil kerja,
umpamanya untuk tembakau, jumlah helai daun yang dipetik atau diikat.
Ada kelompok-kelompok etnik
tertentu yang lebih sesuai untuk mengerjakan jenis pekerjaan tertentu, seperti
golongan Keling untuk melakukan penggalian bangunan, golongan Melayu untuk
transpor, Cina untuk kerja kebun seperti juga unsur Jawa. Cina dikenal
mempunyai ketahanan untuk kerja keras.
3.4. Gaya Hidup Masyarakat Perkebunan
Telah diutarakan di atas bahwa
masyarakat perkebunan merupakan miniatur masyarakat kolonial pada umumnya,
serta menunjukkan karakteristik yang sama, antara lain (1) pluralistik, (2)
tersegmentasi menurut golongan etnik, (3) rasialistik, (4) dualistik
berdasarkan sektor ekonomi Eropa dan non-Eropa, (5) dominasi sosial, ekonomi
dan politik kaum kolonial; berdasarkan itu kesemuanya juga perbedaan gaya
hidup. Apabila pada umumnya gaya hidup menunjukkan status golongan dalam
masyarakat, maka gaya hidup sendiri menjadi simbol posisi sosial golongan
tertentu, termasuk kekayaan, kekuasaan serta kewibawaan.
Dalam
mengamati lay-out daerah permukiman perkebunan segeralah menonjol
kontras
antara daerah kediaman bangsa
Eropa dengan perkampungan kaum pribumi serta golongan non-eropa lainnya, jenis
bangunan, arsitekturnya, formatnya, kemudahannya, dan lain sebagainya,
kesemuanya menampilkan bahwa penghuni berstatus tinggi disitu. Tuan besar
(administrateur) dan tuan-tuan kecil (opzichter dan asisten “bersemayam”
di rumah-rumah gedung yang memenuhi persyaratan kesehatan dilengkapi segala
macam kemudahan. Komunitas Eropa merupakan “enclave” di lingkungan pemukiman
perkebunan. Dijagalah ketat homogenitas penduduknya, lagi pula demarkasi dengan
golongan non-Eropa dalam komunikasi sosialnya. Pergaulannya terjadi
intra-komunitas dan intra-golongan Eropa di kota.
Baik dalam mencari hiburan dan
bentuk-bentuk rekreasi lainnya, kaum Eropa berkumpul
di societeit atau disingkatsoos, antara lain untuk minum-minum,
dansa-dansi, main kartu, bilyar, dan lain sebagainya. Sebagai lapisan atas
mereka memandang rendah golongan pribumi dan kontak terbatas pada hubungan
kerja. Dalam hal ini ada tambahan catatan, ialah bahwa karena kekurangan wanita
Eropa di lingkungannya, maka golongan Eropa yang masih rendah kedudukannya
(opzichter dan asisten) tidak jarang mengambil seorang wanita pribumi
sebagai nyai atau gundik (concubine). Mereka memakai hak
istimewa yaitu hak untuk memilih wanita yang baru didatangkan dari Jawa atau
tempat lain. Kebanyakan hubungan itu tidak dikukuhkan sebagai hubungan
perkawinan. Dapatlah hubungan diputuskan menurut kemauan si tuan kecil. Perlu
diingat bahwa cukup banyak diantara golongan ini yang datang
sebagai fortuin zoekers, pencari harta, maka sebagian besar dari mereka
termasuk trekkers (pengembara) dan tidak
menjadi blijvers (penetap).
Sifat sementara amat mempengaruhi
gaya hidupnya, lebih-lebioh dalam soal etika dan moral. Timbullah suatu
subkultur yang tidak berkecenderungan memantapkan pola hidup dengan nilai-nilai
tertentu. Tambahan pula, dalam masyarakatfrontier individualisme tidak
terkendalikan dan mudah menjurus ke libertanisme, khususnya dalam hubungan
seks menimbulkan promiskuitas.
Ada pula kecenderungan kuat untuk
hidup secara berlebih-lebihan dalam pelbagai seginya. Mereka dihinggapi oleh
ego-sentrisme yang menutup mata mereka terhadap lingkungan masyarakat non-Eropa
yang memeras keringat untuk mencari nafkah, penderitaan para pekerja yang turut
membuahkan penghasilan para tuan. Di sini kita juga menjumpai contoh dualisme
dibidang ekonomi. Di banding dengan gajih golongan Eropa, upah para kuli adalah
upah kelaparan, padahal pekerjaan yang dilakukan amat berat, acapkali
diharuskan melembur pada malam hari dengan memakai lampu. Memang salah satu
sendi keuntungan besar perusahaan perkebunan ialah tenaga kerja yang banyak dan
murah. Faktor ini merupakan faktor penting dalam ongkos eksploitasi yang plus,
maka sewaktu menghadapi krisis dalam tahun 1930-an, merosotnya harga komoditi
di pasar dunia, cara mempertahankan produksi dan menekan ongkosnya, tidak lain
ialah mengurangi upah kuli dan di mana mungkin memecat mereka.
Dalam kondisi hidup yang serba
berat, secara fisik para pekerja dieksploitasi secara maksimal, tingkat upah
minimal, maka taraf hidup amat rendah. Dalam keadaan itu orang hendak menghibur
diri dengan berjudi, menghisap madu, melacur, kesemuanya menjerumuskannya ke
dalam ikatan-pinjaman, kemerosotan kesehatan dan kesejahteraan. Banyak mandor
dan tandil yang memanfaatkan keadaan kuli itu dengan memberi pinjaman yang
“mencekik”, menjual barang dengan harga lebih tinggi, atau dengan membayar
secara angsuran. Banyak kuli yang terjebak ke dalam jerat pinjaman, hal mana
dipandang menguntungkan perusahaan perkebunan, karena kuli-kuli itu akan lebih
terikat pada pekerjaan di perkebunan.
Adapun masalah pelacuran dapatlah
dianggap sebagai konsekuensi dari situasi masyarakat perkebunan di mana
perbandingan anatara pria dan wanita tidak seimbang. Pada suatu waktu hanya
berbanding 4 : 1.
Dampak lain ialah bahwa ikatan
perkawinan tidak terlalu ketat, pada wanita ada lebih banyak kebebasan dalam
pergaulan dengan pria, meskipun sudah kawin. Dalam jenis “perdagangan” semacam
ini wajar pula bahwa pelayanan mendahulukan pembayaran yang tinggi, apakah itu
orang Eropa ataukah golongan Cina. Tidak mengherankan apabila penyakit kelamin
mulai tersebar luas dalam masyarakat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar